Jika baca-baca di berita ada orang hilang di gunung jadi ingat peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Meskipun peristiwanya sudah terjadi antara tahun 1989 - 1990 tapi sampai sekarang masih keingatan karena memang sebuah peristiwa khusus. Ketika itu kita berempat masih SMA kelas II kami melakukan pendakian ke gunung Merbabu, maklumlah namanya anak-anak yang masih mentah belum ada pengalaman.
Pendakian ini merupakan pendakian kedua dalam karier saya menjadi pendaki gunung setelah beberapa bulan yang lalu mendaki ke gunung Lawu. Namanya juga pendaki pemula jadi ya gak tahu apa-apa mengenai persiapan fisik, perlengkapan, aturan-aturan yang penting jalan. Kita berangkat cuma berbekal mie instant masing-masing 5 bungkus kalo gak salah sama air masing2 sebotol.
Kita berempat naik dari Kopeng tanpa lapor, kita naik malam karena menurut yang sudah pakar agar tidak panas dan tidak males melihat jalur yang menanjak-nanjak. Kita ngebut paling berhenti sekedar bikin kopi sama ngisi perut pakai mie instant. Sampai puncak subuh, sambil mnikmati sunrise kita ngopi lagi dan makan mie instant. Di puncak sudah banyak yang kumpul waktu itu. Kita ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain sambil tanya-tanya kalau mau turun lewat Selo arahnya mana.
Kira-kira jam 07.00 kita mulai turun mengikuti petunjuk orang tadi, jalan sambil ketawa-ketawa pokoknya happy deh. Setelah jalan sekitar 3 jam kita mulai merasa aneh, kok gak ada pendaki lain yang lewat jalur ini, selain itu jalan yang kita lewati semakin rapat dengan ilalang yang tingginya melebihi kepala kita, jalur yang kita laluipun bukan jalan setapak lagi tapi seperti aliran air yang sempit. Sudah tanggung mau balik ke atas dah terlanjur jauh, akhirnya kita maksain menerobos ilalang pokoknya arahnya turun.
Kita berhenti sejenak untuk istirahat, saya lihat jam tangan sudah menunjuk jam 14.00 berarti kita sudah 7 jam berjalan dari puncak, kalau lewat jalur normal harusnya kita sudah sampai. Saya berpikir kita pasti tersesat cuma saya gak mau menunjukan kepanikan di depan teman-teman yang lain. Cek logistik masing-masing tas tinggal mie instant 1 bungkus tanpa air sama sekali. Satu orang temen sdh mulai mengeluh capek, haus, lapar. Akhirnya saya ambil keputusan bagi 2 tim, satu tim 2 orang nunggu di tempat, satu tim lagi saya dan temen turun duluan untuk mencari air atau siapa tahu ketemu orang.
Kami berdua bergerak cepat sambil menyibak ilalang yang menutupi jalan kami, kira-kira 30 menit kita berdua berjalan tiba-tiba temenku yang berada di depan berhenti, dia bilang melihat orang di balik semak-semak sebelah kanan. Karena begitu gembiranya saya langsung buru-buru menyibak ilalang sebelah kanan, tapi betapa terkejutnya cuma kira 3 meter dari tempatku berdiri saya meliaht kepala berwarna merah dengan mata, hidung, mulut semuanya besar sedangkan badannya setengah ketutup ilalang. Tanpa pikir panjang saya langsung menarik temen saya untuk segera berlari.
Pokoknya terus berlari, badan yang tadi sudah loyo kekurangan air tiba-tiba bisa berlari kencang meskipun harus jatuh-jatuh karena jalan yang gak kelihatan. Entah berapa jam kita berlalau tidak beraturan, hingga akhirnya kami sampai di sebuah ladang dan bertemu seorang ibu dengan anaknya, kalau ini benar-benar manusia. Saya bertanya, bu yang ada air di sebelah mana, ibu itu menunjuk sebuah pancuran di bawah ladang. Kami berdua langsung minum sepuas-puasnya dari poancuran tersebut.
Kami berdua bergerak cepat sambil menyibak ilalang yang menutupi jalan kami, kira-kira 30 menit kita berdua berjalan tiba-tiba temenku yang berada di depan berhenti, dia bilang melihat orang di balik semak-semak sebelah kanan. Karena begitu gembiranya saya langsung buru-buru menyibak ilalang sebelah kanan, tapi betapa terkejutnya cuma kira 3 meter dari tempatku berdiri saya meliaht kepala berwarna merah dengan mata, hidung, mulut semuanya besar sedangkan badannya setengah ketutup ilalang. Tanpa pikir panjang saya langsung menarik temen saya untuk segera berlari.
KIRA-KIRA BENTUKNYA SEPERTI INI TAPI ADA RAMBUTNYA |
Selesai minum saya segera mengisi tempat air untuk temen kami yang masih ada di atas, ketika saya dah siap-siap untuk naik lagi temen saya tidak sanggup untuk naik lagi, waduh trus gimana nih masak saya tinggalin temen yang terkapar di atas. Saya sendiri juga mikir kalau sendiri harus naik ke atas pasti ketemu mahkluk berkepala merah tadi. Antara takut dan solidaritas terhadap temen, akhirnya saya memutuskan untuk naik sendiri. Belati sudah dipinggang siap terhunus kalau ketemu mahkluk itu lagi.
Saya mulai naik dengan pasti sambil tangan selalu memegang belati, tapi alhamdulillah mahkluk tersebut tidak tampak, dan di atas kedua temen saya dengan tertatih-tatih tampak berjalan turun. Setelah saya beri minum kami bertiga segera turun menuju ke temen yang masih menunggu di pancuran, hari sudah mulai sore. Menelusuri ladang menuju desa terdekat, kami bertemu dengan ibu yang di ladang tadi, melihat kondisi kami yang acak-acakan mereka menawari untuk mampir ke rumahnya. Sampai di rumah ibu tersebut kami ditemani suaminya ngobrol-ngobrol sementar ibu dan anaknya membuat makanan dan teh panas.
Bapak tersebut bertanya ke kami, kami ceritakan semua dari awal sampai kami ketemu mahkluk kepala merah tadi. Bapak tersebut agak terkejut, dia bilang mahkluk tersebut adalah Banaspati, dan biasanya jarang yang selamat. Jadi deg-degan juga, alhamdulillah kita bisa melewati hal tersebut. Kami lupa nama desa itu, yang pasti desa terpencil belum ada listrik. Setelah selesai makan dan minum kami menanyakan arah mana untuk mencapai jalan raya. Bapak itu menunjukan arah dan bilang sudah deket kok jalan rayanya. Waktu itu sekitar jam 16.30 karena takut kemalaman kami ingin bergegas, setelah mengucapkan terima kasih kami segera berpamitan.
Tenaga sudah pulih kembali, kita kebut agar secepatnya kembali ke peradaban. Hari sudah mulai gelap tapi kami masih menelusuri jalan setapak dan belum ada tanda-tanda jalan raya. Kami cuma berdoa semoga gak salah jalan lagi, alhamdulillah benar-benar lega setelah kita mendengar suara-suara kendaraan bis dan mobil lainnya, langkah semakin kita percepat dan akhirnya terkapar di pinggir jalan ketika waktu sudah menunjukan jam 21.00. Kita berjalan 4.5 jam dan bapak itu bilang sudah dekat, jika kecepatan jalan kita 5km/jam berarti jalan yang kita tempuh dari desa ke jalan adalah 22.5 Km.
Setelah saya perhatiin ternyata kita di jalan raya antara ampel dan boyolali, setelah tampak bis jurusan Solo kita segera naik. Sambil istirahat di bis kita ngobrol-ngobrol mengenai apa yang sudah kita alami, waktu itu kita berniat utk kembali ke desa itu dan mencoba jalur itu kembali untuk menuju puncak Merbabu, tapi sampai saat ini keinginan tersebut belum kesampaian.
SALAM RIMBA...SALAM LESTARI
0 komentar:
Posting Komentar